Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah menjatuhkan vonis penjara selama 7 bulan kepada Aulia Rakhman karena terbukti melakukan penistaan agama. Peristiwa ini terjadi ketika Aulia sedang tampil membawakan materi stand up comedy di acara Desak Anies di Kafe Bento Kopi, Jalan Pulau Sebesi, Sukarame, Bandar Lampung, pada Kamis (7/12/2023).
Menyikapi keputusan tersebut, Sekretaris DPD Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Provinsi Lampung, Rifandy Ritonga, mengutarakan keraguan yang sering muncul terkait apakah hakim telah bertindak adil atau menunjukkan bias tertentu.
Rifandy mengungkapkan bahwa penilaian terhadap keadilan tersebut harus memperhatikan beberapa aspek penting dalam proses peradilan. Pertama, sistem peradilan di Indonesia menganut prinsip independensi dan kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim diberikan wewenang untuk mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi sebuah kasus, termasuk motif, konteks, dampak, serta sikap terdakwa selama persidangan.
Menurut Rifandy, penetapan hukuman yang lebih ringan dapat mencerminkan pertimbangan hakim terhadap faktor-faktor tersebut. Faktor kedua yang dia tekankan adalah adanya diskresi dalam penjatuhan hukuman menurut hukum pidana Indonesia. Meskipun undang-undang mengatur batasan minimum dan maksimum hukuman, hakim memiliki kewenangan untuk menentukan besaran hukuman yang dianggap paling adil berdasarkan fakta dan bukti yang ada.
Dalam konteks perkara penistaan agama, konteks dan niat di balik perbuatan tersebut sangat penting dalam menetapkan tingkat kesalahan dan hukuman yang pantas. Rifandy, yang juga merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, menegaskan bahwa hal ini menjadi faktor kunci dalam proses peradilan.
Sistem peradilan yang mengedepankan independensi hakim, bersama dengan pemikiran kritis terhadap konteks kasus dan bukti yang disajikan, memainkan peran penting dalam menentukan keadilan di dalam ruang sidang. Diskresi hakim dalam menetapkan hukuman juga menjadi bagian integral dalam proses peradilan yang adil dan penuh pertimbangan. Dengan demikian, proses peradilan mempertimbangkan beragam faktor sebelum menetapkan keputusan akhir terkait hukuman yang diberikan kepada terdakwa.
Pengamat dan Akademisi menyoroti isu penistaan agama yang mendapat hukuman di bawah ketentuan Undang-Undang, menyatakan bahwa keadilan dalam penentuan vonis sangat tergantung pada faktor hukum dan fakta yang dipertimbangkan dalam persidangan. Mereka menegaskan bahwa meskipun hakim memiliki kewenangan diskresi, transparansi dalam menjelaskan pertimbangan hukum menjadi kunci mendukung kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Hal ini penting guna memastikan terwujudnya keadilan yang sebenarnya.
Dalam konteks ini, Akademisi Hukum dari Universitas Lampung, Dr. Yusdianto, menilai bahwa vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap Aulia Rakhman sudah sejalan dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Yusdianto menekankan bahwa hukuman dalam bentuk pidana seharusnya diartikan sebagai sanksi atas perilaku yang dilakukan oleh terdakwa, dan bukan semata sebagai bentuk dendam atau balas dendam.
Yusdianto juga menegaskan bahwa dalam persidangan, terdakwa telah mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Lebih lanjut, putusan yang diambil oleh Majelis Hakim dinilai sebagai cerminan dari keadilan yang diterapkan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Dengan demikian, vonis yang dijatuhkan dianggap sebagai langkah yang tepat untuk memberikan keadilan yang setara di hadapan hukum.
Pendekatan yang transparan dan berbasis pada fakta serta hukum dalam proses penegakan hukum menjadi hal yang amat krusial dalam mempertahankan integritas sistem peradilan. Keterbukaan hakim dalam menjelaskan pertimbangan mereka dapat membantu masyarakat memahami dan mempercayai proses peradilan yang berlangsung. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap keadilan hukum dapat terjaga dengan baik.
Dari sudut pandang pemahaman hukum dan keadilan, penjelasan yang secara komprehensif dari para akademisi dan pengamat terhadap proses peradilan menjadi poin kunci dalam memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan terhadap pelanggar hukum benar-benar sejalan dengan prinsip keadilan yang berlaku. Dengan demikian, asas keadilan, transparansi, dan integritas hukum dapat terus dipertahankan dalam sistem peradilan yang berlaku.